Proses Akreditasi Sekolah menyediakan sekolah dengan kerangka kerja yang komprehensif untuk terus meningkatkan prestasi siswa dan efektivitas sekolah. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi internal dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentukan kelayakan dan kinerja sekolah. Akreditasi dapat dipandang sebagai instrumen regulasi diri, dengan maksud agar suatu Sekolah/Madrasah dapat memahami kekuatan dan kelemahan diri; dan berdasarkan atas pemahaman kekuatan dan kelemahan diri tersebut, Sekolah/Madrasah dapat melakukan perbaikan mutu secara berkelanjutan. Akreditasi juga dapat dipandang sebagai hasil penilaian dalam bentuk sertifikasi formal terhadap kondisi suatu Sekolah/Madrasah yang telah memenuhi standar layanan tertentu yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam sudut pandang ini, ada sekolah/madrasah yang terakreditasi dan tidak, dengan peringkat A, B, C dan seterusnya.
Contoh Banner Visitasi Akreditasi Sekolah / Madrasah cdr
Akreditasi yaitu suatu proses yang berkesinambungan dari evaluasi diri, refleksi, dan perbaikan (“Accreditation is a continuous process of self-evaluation, reflection, and improvement). Akreditasi juga diartikan sebagai proses evaluasi dan penilaian mutu institusi yang dilakukan oleh suatu tim pakar sejawat (tim asesor) berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan, atas pengarahan suatu badan atau lembaga akreditasi mandiri di luar institusi yang bersangkutan, hasil akreditasi merupakan pengakuan bahwa suatu institusi telah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan, sehingga layak untuk beroperasai dan dapat menyelenggarakan program-programnya.
Sejarah Singkat Akreditasi
Paling tidak, ada 3 fase sejarah akreditasi sekolah yang berada di Indonesia. Fase pertama, terjadi ketika Direktorat Sekolah Swasta Depdikbud melakukan akreditasi terhadap sekolah-sekolah swasta. Pada fase ini, akreditasi sekolah hanya diperuntukkan bagi sekolah swasta dan terkesan sangat diskriminatif. Terlebih dengan kriteria pemeringkatan sebagai Terdaftar, Diakui dan Disamakan. Sekolah swasta merasa dianggap selalu under position.
Fase kedua, terjadi ketika Badan Akreditasi Sekolah Nasional melakukan akreditasi terhadap semua sekolah, baik negeri maupun swasta berdasar 9 (sembilan) komponen penyelenggaraan sekolah. Sistem akreditasi sekolah fase kedua dianggap tidak adil, karena sifat instrumennya yang kategorik dan sangat diskrit. Respon instrumen hanya ada dua kemungkinan jawaban, ialah antara “ya” atau “tidak”. Jika “ya” maka diberi skor 1, sedangkan jika “tidak” diberi skor “0”. Sifatnyapun sangat diskrit cenderung mengabaikan sisi rentang kualitatif, kuantitatif, dan kefungsian.
Pages: 1 2